Presiden Joko Widodo makan siang bersama kepala daerah usai rapat koordinasi pada Selasa, 17 Januari 2023.
Jan 18 2023
Presiden Joko Widodo meminta para kepala daerah untuk memastikan bahwa mereka menjamin hak beribadah bagi kelompok minoritas.
Berbicara dalam rapat koordinasi denagn para kepala daerah dan forum pimpinan daerah pada 17 Januari, ia mengingatkan mereka untuk “hati-hati” karena setiap umat beragama memiliki hak yang sama dalam beribadah.
“Yang beragama Kristen, Katolik, Hindu dan Konghuchu ….memiliki hak yang sama dalam hal kebebasan beragama dan beribadah,” kata presiden.
Ia mengatakan bahwa hal itu telah dijamin oleh konstitusi, yaitu UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 dan karena itu setiap kepala daerah mesti memperhatikan hal itu.
Preisden juga secara khusus menyoroti peran Forum Kerukunan Umat Beragama di setiap daerah yang seringkali membuat kesepakatan yang justru berlawanan dengan konstitusi.
“Ada rapat FKUB ini misalnya yang sepakat tidak memperbolehkan membangun tempat ibadah,” katanya.
“Jangan sampai yang namanya konstitusi itu kalah oleh kesepakatan. Konsitusi tidak boleh kalah dengan kesepakatan,” tuturnya.
Widodo juga meminta pimpinan militer, polisi, hingga jaksa untuk sama-sama memperhatikan kebebasan beribadah dan mendesak agar para kepala daerah tidak membuat aturan yang justru bertentangan dengan konstitusi.
Ia mengatakan menyampaikan hal itu karena “saya lihat masih terjadi” praktik penghadangan bagi orang yang akan beribadah.
“Kadang-kadang saya berpikir, sesusah itukah orang yang akan beribadah. Sedih kalau kita mendengarnya,” ungkapnya.
Akhir-akhir ini, upaya-upaya menghalangi kelompok minoritas untuk beribadah masih terus terjadi.
Menurut kelompok advokasi kebebasan beragama, Setara Institute for Justice and Peace, selama 2007-2022, terjadi 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah.
Gangguan tersebut mencakup pembubaran dan menolak peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya.
Seluruh gangguan tersebut menimpa kelompok minoritas, baik dalam relasi eksternal maupun internal agama, demikian menurut Setara.
Pada Natal tahun lalu misalnya, sebuah kasus yang menjadi viral adalah warga dan aparat yang melarang jemaat Huria Kristen Batak Protestan Betlehem di Batu Gede, Desa Cilebut Barat, Kabupaten Bogor, Jawa Barat melakukan ibadah Natal pada 24 dan 25 Desember.
Dalam video yang beredar di media sosial, warga dan pemerintah setempat melarang jemaat beribadah di rumah saat Natal karena menganggap bahwa itu bukan tempat ibadah.
Bupati Lebak di Provinsi Banten juga melarang umat Kristen untuk beribadah Natal di wilayahnya yang memang tidak memiliki gereja. Mereka dilarang memanfaatkan rumah toko sebagai tempat ibadah Natal dan meminta mereka beribadah di gereja yang jauh dari wilayahnya.
Pendeta Palti Panjaitan dari kelompok solidaritas korban pelanggaran kebebasan beragama mengatakan bahwa pernyataan presiden itu “tentu melegakan sebab selama ini presiden diam” dengan pelanggaran yang terus berualang.
“Namun perlu ditindaklanjuti dengan mencabut Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tahun 2006 yang selama ini menjadi alat untuk melanggengkan pelanggaran hak kelompok minoritas,” katanya.
Ia mengatakan, peraturan bersama itu yang menuntut persetujuan dari kelompok agama lain sebelum mendirikan rumah ibadah, “melanggar konstitusi.”
“Izin pendirian rumah ibadah seharusnya bukan dari masyarakat, tapi dari negara,” katanya.
Ia mengatakan, presiden juga seharusnya meminta penegakan hukum yang tegas bagi mereka yang menghalang-halangi kebebasan beragama.
“Setiap ada pelanggaran oleh aktor negara maupun aktor non negara, maka harus ditindak,” katanya. – UCA News Indonesia