Para paderi orang asal Papua dalam sidang media Isnin, Jun 8 2020 di Rumah Imam Projo-Condios, Jayapura. Dok. (Jubi/Hengky Yeimo)
By Hermina Wulohering, Hidup Katolik
June 8 2020
JAYAPURA, Papua – Seramai 57 paderi orang asal Papua di lima keuskupan di wilayah Papua berkata mereka “mengutuk rasisme, menolak ketidakadilan dan segala bentuk kekerasan kepada umat Tuhan di Tanah Papua”. Kenyataan disampaikan dalam sidang media di Rumah Imam Projo-Condios, Jayapura, Isnin, Jun 8.
Kenyataan ini dikeluarkan menyusul isu rasisme yang kebelakangan ini hangat dibincangkan di media sosial. Bukan sahaja George Floyd, lelaki kulit hitam yang tewas di tangan polis Amerika Syarikat, masyarakat juga mengamati tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Bucthar Tabuni, cs, yang dilihat sebagai tidak adil. Buchtar Tabuni bersama enam orang lainnya adalah tahanan politik (tapol) asal Papua yang kini ditempatkan di Rumah Tahanan Balikpapan, Kalimantan Timur.
Buchtar Tabuni, Ketua Parlemen Nasional Papua Barat ditangkap polis di Abepura (www.aldp-papua.com)
Mereka didakwa atas kes khianat berkaitan tunjuk perasaan yang mengecam ujaran rasisme di Kota Jayapura pada 19 dan 29 Ogos 2019 lalu, dengan tuntutan hukuman sehingga belasan tahun penjara. Tunjuk perasaan itu merupakan protes terhadap ujaran rasisme yang dilemparkan terhadap mahasiswa orang asal Papua di Surabaya pada 16 Ogos 2019.
JPU Kejaksaan Tinggi Papua menuntut para tapol ini lima sehingga 17 tahun penjara. Tuntutan terberat diberikan kepada Bucthar Tabuni iaitu 17 tahun penjara. Keenam tapol lainnya dituntut lima sehingga 15 tahun penjara.
Sementara itu, pelaku ujaran rasis dalam insiden di Surabaya itu hanya dijatuhkan hukuman lima bulan penjara.
Para paderi orang asal Papua dalam kenyataan medianya menilai ada ketidak-adilan dari JPU dalam memberikan tuntutan tersebut. Para paderi yang menyebut diri mereka “Pastor Katolik Pribumi Papua” ini menilai Bucthar Tabuni, cs adalah korban rasisme dan bukan pelaku rasisme.
“Kami melihat adanya kekaburan dalam menangani para aktivis yang terkena akibat dari kes rasisme ini. Mereka ditangkap dalam situasi Demo Nasional Papua, demi harga diri manusia Papua yang direndahkan sama dengan ‘monyet’,” kata para paderi dalam kenyataannya.
Mereka berkata lagi, protes pada Ogos 2019 itu dilakukan secara damai tetapi kemudian “diprovokasi” oleh orang tak dikenali (OTK) sehingga “demo yang murni berubah menjadi pemberontakan” dan berakhir dengan penangkapan para aktivis kebenaran-keadilan dan mereka dipenjarakan atas tuduhan khianat. “Bagi kami ini namanya kes akalisasi atau pengalihan sosial. Ertinya, entah demi kepentingan siapa?”
Dalam kenyataan ini juga, para paderi asli Papua berkata mereka pernah mendengar ada khabar angin yang beredar berkaitan penahanan Buchtar Tabuni, cs.
Ada pihak yang berkata, “Kami sudah setengah mati tangkap mereka, mengapa kamu mau seenaknya saja bebaskan mereka? Kasih hukuman yang beratlah, supaya mereka sedar dan tidak buat pusing kita lagi.”
57 paderi ini adalah semua paderi orang asal Papua yang terdiri daripada 39 paderi diosesan, sembilan paderi Santo Agustinus (OSA), enam paderi Ordo Fransiskan (OFM), dan tiga paderi Misionaris Hati Kudus Yesus (MSC). Komuniti ini dipimpin oleh Pastor Alberto John Bunay, yang juga merupakan Koordinator Jaringan Damai Papua.