Fr Alfonsius Mau, OFM, Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta
Feb 22 2022
KEHADIRAN orang tersayang bagaikan ‘peluru’ bagi kehidupan kita. Dukungan dan penerimaan mereka membuat kita mampu menghadapi naik dan turunnya episod hidup. Namun, seperti pertunjukan teater yang pastinya akan selesai, suatu hari mereka juga akan ‘selesai’ masanya berada dalam kehidupan kita. Satu per satu, mereka akan meninggalkan kita.
Sukar rasanya membayangkan atau mengalami sedih menghantar orang yang kita sayangi ke tempat istirehatnya yang terakhir. Tetapi, dari sinilah kita belajar makna hidup yang indah sekaligus rapuh. Kehilangan seseorang yang kita cintai akan membawa pemahaman baru dalam diri kita tentang nilai sebuah kehidupan.
Dalam menjalani kehidupan, kita sering dihadapkan dengan peristiwa-peristiwa yang menyakitkan. Salah satu peristiwa yang pernah terjadi di dalam hidup saya adalah kehilangan ibu saya semasa saya masih berumur lima tahun.
Sebagai seorang anak kecil, saya tidak tahu bagaimana memberi respons kepada khabar buruk ini. Yang jelas khabar buruk itu menggoncang dunia saya. Dunia yang sebelumnya tampak sempurna, sekarang telah runtuh. Satu-satunya hal yang saya lakukan adalah berpura-pura menjadi kuat. Padahal hati saya terasa hancur berkeping-keping. Dalam hati kecil saya berkata, “Saya harus kuat melalui semua ini”. Saya pasti boleh!
Peristiwa duka yang saya alami ini jelas mengubah dunia saya. Setelah menghantar jenazah ibu, saya terus dijaga oleh pakcik saya. Sebagai seorang anak kecil yang baru kehilangan seorang ibu, tentu masih merindukan kehadiran ibu itu. Melalui kehadiran ibu yang lain (isteri pakcik saya), ada banyak tingkah laku yang saya alami, baik tingkah laku yang menyenangkan dan juga yang kurang menyenangkan.
Makcik mengajar saya melakukan pelbagai jenis pekerjaan. Sebagai seorang anak yang ingin bermain seperti teman-teman lain contohnya bermain bola, guli, layang-layang, sorok-sorok, dan lain-lain, saya disuruh menanam sayur, padi, jual sayur, dan lain-lain. Pada saat itu saya berasa bahawa dunia saya sungguh berubah.
Setelah satu tahun ibu meninggal, bapa saya menikah lagi dan pindah dari rumah yang sejak kecil saya tinggal. Namun di tengah-tengah masa kelam itu, saya menyedari sesungguhnya Tuhan tidak meninggalkan saya. Tetapi Tuhan sedang membentuk saya menjadi peribadi yang lebih kuat. Secara perlahan mengubah pengalaman yang pahit ini, menjadi sebuah nilai yang berharga.
Tuhan menunjukkan banyak hal kepada saya melalui peristiwa duka ini. Ia mempunyai maksud di sebalik setiap masalah yang saya hadapi. Ia memakai situasi ini untuk mengembangkan karakter saya. Tuhan mengingatkan saya bahawa saya akan menghadapi pelbagai masalah di dunia. Tidak seorang pun yang kebal akan rasa sakit, terlindung dari penderitaan. Tidak seorang pun terbebas dari masalah.
Setiap kali kita menyelesaikan satu masalah, masalah yang lain sudah menunggu. Namun, saya melihat, melalui masalah yang terus-menerus hadir dalam kehidupan saya, ia menumbuhkan suatu nilai yang penting bagi proses pertumbuhan saya.
Saya lebih dekat kepadaNya. Saya diuji untuk tetap setia kepada Tuhan. Dalam penderitaanlah saya belajar menaikkan doa yang paling murni, tulus, dan jujur kepada Tuhan.
Atau dengan kata lain, melalui penderitaan saya, mungkin juga anda, saya belajar tentang misteri Ilahi yang tidak dapat kita selami dengan cara lain.
Fr. Alfonsius Mau, OFM